Minggu, 26 Februari 2012
HABIB RIZIEQ BERSAMA MAJLIS NURUL MUSTHOFA
AULIA SULTHONUL ILMI AS SAYYID HABIB SALIM BIN ABDULLOH AS SYATIRI, TARIM YAMAN
im...."
Sabtu, 25 Februari 2012
Sabtu, 11 Februari 2012
HABIB HUSEIN BIN ABU BAKAR ALAYDRUS - LUAR BATANG
Masjid Keramanat Luar Batang
Selain menjalankan aktivitas seperti biasa, tak ada salahnya jika Anda
berwisata ke tempat bersejarah religi bagi umat Muslim. Memperdalam
ilmu rohani dengan mengunjungi Masjid Luar Batang, bangunan yang
menjadi kejayaan Islam di Jakarta. Bahkan, banyak orang yang menganggap
masjid itu punya "sesuatu" dan seolah dipercaya menjadi masjid keramat.
Cukup sulit untuk mencapai lokasi Masjid Luar Batang yang terletak di areal Makam Keramat Luar Batang di RT 01/03, Penjaringan, Jakarta Utara. Anda harus melalui beberapa gang sempit yang ada di kawasan itu, karena keberadaannya saat ini berada di Kampung Luar Batang yang menjorok ke dalam sebuah kampung dan menyatu di tengah-tengah pemukiman warga. Jika diamati dari Jalan Lodan, Masjid Luar Batang berada tepat di belakang Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Iya, menara tinggi Masjid Luar Batang akan menjadi petunjuk untuk menuntun kita sampai di lokasi masjid.
Masjid Luar Batang didirikan pada tahun 1735 oleh ulama muda asal Madhramaut, Yaman Selatan bernama Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus, yang jika dirunut silsilahnya masih keturunan Nabi Besar Muhammad SAW. Sebelum menjadi masjid, Masjid Luar Batang hanyalah sebuah musholla. Namun, seiring perjalanan waktu, dan semakin banyak masyarakat yang datang untuk memanjatkan doa, mushola itu kemudian diubah menjadi Masjid Luar Batang seperti keberadaannya saat ini. Hingga kini, Masjid Luar Batang telah dua kali mengalami renovasi.
Berlabuhnya Habin Husein bin Abu Bakar Alaydrus di pelabuhan Sunda Kelapa kala itu bersama-sama dengan para pedagang asal Gujarat, menjadi awal mula lembaran kehidupan di Kampung Luar Batang. Daerah kecil di pesisir laut Sunda Kelapa ini kemudian menjadi persinggahan Habib Husein pada tahun 1735. Di tahun itupula-lah, Habib Husein membangun sebuah mushola sebagai tempat peribadatan.
Saat itu, Belanda yang ingin menguasai kawasan Sunda Kelapa khawatir akan aktifitas jemaah di mushola tersebut yang kian hari peziarah yang datang ke makam Habib Husein semakin bertambah banyak. Belanda pun kemudian melarang pendatang untuk berziarah ke makam Habib Husein dan berniat memindahkan makam Habib Husein ke daerah Tanahabang.
Namun, usaha pemerintah kolonial Belanda sepertinya sia-sia lantaran selalu menemui kegagalan. Sebab, kurung batang jenazah Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus tampak selalu kosong saat akan dilakukan pemindahan. Usaha pemindahan terus dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan upaya pemindahan dilakukan sebanyak tiga kali, namun upaya itu selalu gagal. Akhirnya, Belanda pun memperbolehkan jenazah Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus dimakamkan di kawasan mushola tersebut.
Dari kisah inilah, nama mushola yang dibuat Habib Husein disebut-sebut sebagai mushola Luar Batang. Tapi sayang akibat renovasi, bentuk asli mushola tersebut kini sudah tidak dapat dijumpai lagi, meski beberapa perabot yang berada di masjid merupakan perabot asli saat Habib Husein masih hidup seperti beduk, tiang penyangga, dan atap yang terbuat dari bambu.
Junaidi, salah seorang pengurus Masjid Luar Batang menjelaskan, bangunan Masjid Luar Batang sudah bukan bangunan asli, karena telah beberapa kali mengalami renovasi. Hal itu dilakukan karena menyesuaikan fungsinya sebagai tempat berziarah yang banyak didatangi baik peziarah asal Jakarta maupun dari luar Jakarta.
Kini, ruangan masjid terdiri dari tiga ruangan, yakni ruangan utama yang digunakan sebagai tempat shalat. Kemudian ruangan makam atau Keramat Luar Batang yang berada di sisi barat ruang utama dan aula di bagian depan masjid yang bersebelahan dengan ruang keramat atau makam Habib Husein.
Sementara di ruangan makam keramat terdapat dua makan, yakni makam Habib Husein dan makam Haji Abdul Khadir, seorang murid Habib Husein yang merupakan keturunan Tionghoa. "Selain masjid, makam keramat Habib Husein dan muridnya menjadi daya tarik para peziarah yang datang dari berbagai daerah," kata Andi, pengurus Makam Keramat Luar Batang.
HABIB ABDULLOH BIN MUKHSIN AL ATHOS (EMPANG BOGOR)
Tak jauh dari Kebon Raya Bogor tepatnya kawasan empang Bogor selatan terdapat maqom waliyulloh yang lokasinya tepat di jalan lolongok Di Kompleks Masjid An nur itulah, Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas di makamkan, bersama dengan makam anak-anaknya yaitu Al Habib Mukhsin Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Zen Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Husen Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Abu Bakar Bin Abdullah Al Athas, Sarifah Nur Binti Abdullah Al Athas, makam murid kesayangannya yaitu Al Habib Habib Alwi Bin Muhammad Bin Tohir dan Maqom seorang ulama besar yang belum lama ini wafat 26 maret 2007 al walid Habib Abdurrohman Bin Ahmad Assegaf (pimpinan pon-pes Al busro citayam depok).
Dalam Manakibnya disebutkan bahwa Al Habib Abduillah Bin Mukhsin Al Athas adalah seorang “ Waliyullah” yang telah mencapai kedudukan mulia dekat dengan Allah SWT. Beliau termasuk salah satu Waliyullah yang tiada terhitung jasa-jasanya dalam sejarah pengembangan Islam dan kaum muslimin di Indonesia. Beliau seorang ulama “Murobi” dan panutan para ahli tasauf sehingga menjadi suri tauladan yang baik bagi semua kelompok manusia maupun jin.
habib muhsin bin abdulloh al athos
Al Habib Abdullah Bin Mukhsin. Bin Muhammad. Bin Abdullah. Bin Muhammad. Bin Mukhsin. Bin Husen. Bin Syeh Al Kutub, Al Habib Umar Bin Abdurrohman Al Athas adalah seorang tokoh rohani yang dikenal luas oleh semua kalangan umum maupun khusus. Beliau adalah “Ahli kasaf” dan ahli Ilmu Agama yang sulit ditandingi keluawasan Ilmunya, jumlah amal ibadahnya, kemulyaan maupun budi pekertinya.
Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas beliau asli dari Yaman Selatan dilahirkan di desa hawrat
salah satu desa di Al Kasar, Kampung kharaidhoh, “Khadramaut” pada hari Selasa 20 Jumadi Awal 1275 hijriah. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan rohani dan perhatian khusus dari Ayahnya. Beliau mepelajari Al Qur’an dimasa kecilnya dari Mu’alim Syeh Umar Bin Faraj Bin Sabah.
Dalam Usia 17 tahun beliau sudah hafal Al Qui’an. Kemudian beliau oleh Ayahnya diserahkan kepada ulama terkemuka di masanya. Beliau dapat menimba berbagai cabang ilmu Islam dan Keimanan.
Diantara guru–guru beliau, salah satunya adalah Assyayid Al Habib Al Qutbi Abu Bakar Bin Abdullah Al Athas, dari guru yang satu itu beliau sempat menimba Ilmu–Ilmu rohani dan tasauf, Beliau mendapatkan do’a khusus dari Al Habib Abu Bakar Al Athas, sehingga beliau berhasil meraih derajat kewalian yang patut. Diantaranya guru rohani beliau yang patut dibanggakan adalah yang mulya Al Habib Sholih Bin Abdullah Al Athas penduduk Wadi a’mad.
Habib Abdullah pernah membaca Al Fatihah dihadapan Habib Sholeh dan Habib Sholeh menalkinkan Al Fatihah kepadanya Al A’rif Billahi Al Habib Ahmad Bin Muhammad Al Habsi. ketika melihat Al Habib Abdullah Bin Mukhsin yang waktu itu masih kecil beliu berkata sungguh anak kecil ini kelak akan menjadi orang mulya kedudukannya.
Al Habib Abdullah Bin Mukhsin pernah belajar Kitab risalah karangan Al Habib Ahmad Bin Zen Al Habsi kepada Al Habib Abdullah Bin A’lwi Alaydrus sering menemui Imam Al Abror Al Habib Ahmad Bin Muhammad Al Muhdhor. Selain itu beliau juga sempat mengunjungi beberapa Waliyulllah yang tingal di hadramaut seperti Al Habib Ahmad Bin Abdullah Al Bari seorang tokoh sunah dan asar. Dan Syeh Muhammad Bin Abdullah Basudan. Beliau menetap di kediaman Syeh Muhammad basudan selama beberapa waktu guna memperdalam Agama.
Pada tahun 1282 Hijriah, Habib Abdulllah Bin Mukhsin menunaikan Ibadah haji yang pertama kalinya.
Selama di tanah suci beliau bertemu dan berdialog dengan ulama–ulama Islam terkemuka. Kemudian, seusai menjalankan ibadah haji, beliau pulang ke Negrinya dengan membawa sejumlah keberkahan. Beliau juga mengunjungi Kota Tarim untuk memetik manfaat dari wali–wali yang terkenal.
Setelah dirasa cukup maka beliau meninggalkan Kota Tarim dengan membawa sejumlah berkah yang tidak ternilai harganya. Beliau juga mengunjungi beberapa Desa dan beberapa Kota di Hadramaut untuk mengunjungi para Wali dan tokoh–tokoh Agama dan Tasauf baik dari keluarga Al A’lwi maupun dari keluarga lain.
Pada tahun 1283 H, Beliau melakukan ibadah haji yang kedua. Sepulangnya dari Ibadah haji, beliau berkeliling ke berbagai peloksok dunia untuk mencari karunia Allah SWT dan sumber penghidupan yang merupakan tugas mulya bagi seorang yang berjiwa mulya. Dengan izin Allah SWT, perjalanan mengantarkan beliau sampai ke Indonesia. beliau bertemu dengan sejumlah Waliyullah dari keluarga Al Alwi antara lain Al Habib Ahmad Bin Muhammad Bin Hamzah Al Athas.
Sejak pertemuanya dengan Habib Ahmad beliau mendapatkan Ma’rifat. Dan, Habib Abdullah Bin Mukhsin diawal kedatangannya ke Jawa memilih Pekalongan sebagai Kota tempat kediamannya. Guru beliau Habib Ahmad Bin Muhammad Al Athas banyak memberi perhatian kepada beliau sehinga setiap kalinya gurunya menunjungi Kota Pekalongan beliau tidak mau bermalam kecuali di rumah Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athos.
Dalam setiap pertemuan Habib Ahmad selalu memberi pengarahan rohani kepada Habib Abdullah Bin Mukhsin sehingga hubungan antara kedua Habib itu terjalin amat erat. Dari Habib Ahmad beliau banyak mendapat manfaat rohani yang sulit untuk dibicarakan didalam tulisan yang serba singkat ini.
Dalam perjalan hidupnya Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas pernah dimasukan kedalam penjara oleh Pemerintah Belanda, mungkin pengalaman ini telah digariskan Allah. Sebab, Allah ingin memberi beliau kedudukan tinggi dan dekat dengannya. Nasib buruk ini pernah juga dialami oleh Nabi Yusuf AS yang sempat mendekam dalam penjara selama beberapa tahun. Namun, setelah keluar dari penjara ia diberi kedudukan tinggi oleh penguasa Mashor yang telah memenjarakannya.
Karomah dan Kekeramatan Habib Abdullah
Selama di penjara ke keramatan Habib Abdullah Bin Mukhsin semakin tampak sehingga semakin banyak orang yang datang berkunjung kerpenjaraan tersebut. Tentu saja hal itu mengherankan para pembesar penjara dan penjaganya. Sampai mereka pun ikut mendapatkan berkah dan manfaat dari kebesaran Habib Abdullah dipenjara,
Setiap permohonan dan hajat yang pengunjung sampaikan kepada Habib Abdullah Bin Mukhsin selalu dikabulkan Allah SWT, para penjaga merasa kewalahan menghadapi para pengunjung yang mendatangi beliau Mereka lalu mengusulkan kepada kepala penjara agar segera membebaskan beliau. Namun, ketika usulan dirawarkan kepada Habib Abdullah beliau menolak dan lebih suka menungu sampai selesainya masa hukuman.
Pada suatu malam pintu penjara tiba–tiba terbuka dan datanglah kepada beliau kakek beliau Al Habib Umar Bin Abdurrohman Al Athas seraya berkata, Jika kau ingin keluar dari penjara keluarlah sekarang, tetapi jika engkau mau bersabar maka bersabarlah.
Beliau ternyata memilih untuk bersabar dalam penjara, pada malam itu juga Sayyidina Al Faqih Al Muqodam dan Syeh Abdul Qodir Zaelani serta beberapa tokoh wali mendatangi beliau. Pada kesempatan itu Sayyidina Al Faqih Al Muqodam memberikan sebuah kopiah. Ternyata dipagi harinya Kopiah tersebut masih tetap berada di kepala Al Habib Abdullah Padahal, beliau bertemu dengan Al Faqih Al Muqodam didalam impian.
Para pengujung terus berdatangan kepenjara sehingga berubahlah penjaraan itu menjadi rumah yang selalu dituju, Beliau pun mendapatkan berbagai kekeratan yang luar biasa mengingatkan kembali hal yang dimiliki para salaf yang besar seperti Assukran dan syeh Umar Muhdor
Diantara Karomah yang beliau peroleh adalah sebagaimana yang disebutkan Al Habib Muhammad Bin Idrus Al Habsyi bahwa Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas ketika mendapatkan anugrah dari Allah SWT, beliau tenggelam penuh dengan kebesaran Allah, hilang dengan segala hubungan alam dunia dan sergala isinya. Al Habib Muhammad Idrus Al Habsyi juga menuturkan, ketika aku mengujunginya Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athos dalam penjara aku lihat penampilannya amat berwibawa dan beliau terlihat dilapisi oleh pancaran Illahi. Sewaktu beliau melihat aku beliau mengucapkan bait –bait syair Habib Abdullah Al Hadad yang awal baitnya adalah sbb “ Wahaii yang mengunjungi Aku di malam yang dingin, ketika tak ada lagi orang yang akan menebarkan berita fitrah, Selanjutnya, kata Habib Muhammad Idrus, kami selagi berpelukan dan menangis, “
Karomah lainnya setiap kali beliau memandang borgol yang membelegu kakinya, maka terlepaslah borgol itu.
Disebutkan juga bahwa ketika pimpinan penjara menyuruh bawahannya untuk mengikat keher Habib Abdullah Bin Mukhsin maka dengan rante besi maka atas izin Allah rantai itu terlepas, dan pemimpin penjara beserta keluarga dan kerabatnya mendapat sakit panas, dokter tak mampu mengobati penyakit pemimpin penjara dan keluarganya itu, barulah kemudian pemimpin penjara sadar bahwa ;penyakitnya dan penyakit keluarganya itu diakibatkan Karena dia telah menyakiti Al Habib yang sedang dipenjara.
Kemudian, kepala penjara pengutus bawahannya untuk mendo’akan, penyakit yang di derita oleh kepala penjara dan keluarganya itu agar sembuh Maka, berkatalah Habib Abdullah kepada utusan itu Ambillah borgol dan rante ini ikatkan di kaki dan leher pemimpin penjara itu, maka akan sembuhlah dia.
Kemudian dikerjakanlah apa yang dikatakan oleh Habib Abdullah, maka dengan izin Allah SWT penyakit pimpinan penjara dan keluarganya seketika sembuh. Kejadian ini penyebabkan pimpinan penjara makin yakin akan kekeramatan Habib Abdullah Mukhsin Al Athas. Sekeluarnya dari penjara beliau tinggal di Jakarta selama beberapa tahun.
Perjalanan ke Empang
Dari sumber lain disebutkan, bahwa awal mula kedatangan Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas ke Indonesia, pada tahun 1800 Masehi, waktu itu beliau diperintahkan oleh Al Habibul Imam Abdullah bin Abu Bakar Alayidrus, untuk menuju Kota Mekah. Dan sesampainya di Kota Mekah, beliau melaksanakan sholat dan pada malam harinya beliau mimpi bertemu dengan Rasullah SAW, entah apa yang dimimpikannya, yang jelas ke esok harinya beliau berangkat menuju Negeri Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, beliau dipertemukan dengan Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas yang da dipakojan Jakarta dan beliau belajar ilmu agama darinya, lalu Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas memerintahkan agar beliau datang berziarah ke Habib Husen di luar Batang, dari sana sampailah perjalanan beliau ke Bogor
Beliau datang ke Empang dengan tidak membawa apa-apa,
Pada saat belau datang ke Empang Bogor, disana disebutkan bahwa Empang yang pada saat itu belum ada penghuninya, namun dengan Ilmu beliau bisa menyala dan menjadi terang benderang Diceritakan, ada kekeramatan yang lain terjadi pula ketika beliau tengah makan dipinggiran empang, kebetulan pada saat itu datang kepada beliau seorang penduduk Bogor dan berkata “ Habib, kalau anda benar-benar seorang Habib Keramat, tunjukanlah kepada saya akan kekeramatannya..
Pada saat itu kebetulan Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas tengah makan dengan seekor ikan dan ikan itu tinggall separuh lagi. Maka Habib Abdukkah berkata” Yaa sama Anjul ilaman Tabis,” ( wahai ikan kalau benar-benar cinta kepadaku tunjukanlah) maka atas izin Allah SWT, seketika itu juga ikan yang tinggal sebelah lagi meloncat ke empang. Konon ikan sebelah tersebut sampai sekarang masih hidup dilaut.
Masjid Keramat Empang didirikan sekitar tahun 1828 M. pendirian Masjid ini dilakukan bersama para Habaib dan ulama-ulama besar di Indonesia. Di Sekitar Areal Masjid Keramat terdapat peninggalan rumah kediaman Habib Abdullah, yang kini rumah itu ditempati oleh Khalifah Masjid, Habib Abdullah Bin Zen Al Athas. Didalam rumah tersebut terdapat kamar khusus yang tidak bisa sembarang orang memasukinya, karena kamar itu merupakan tempat khalwat dan zikir beliau. Bahkan disana terdapat peninggalan beliau seperti tempat tidur, tongkat , gamis dan sorbannya yang sampai sekarang masih disimpan utuh.
Kitab-kitab beliau kurang lebih ada 850 kitab, namun yang ada sekarang tinggal 100 kitab, sisanya disimpan di “Jamaturkhair atau di Rabitoh”. Tanah Abang Jakarta. Salah satu kitab karangan beliau yang terkenal adalah “Faturrabaniah” konon kitab itu hanya beredar dikalangan para ulama besar,
Adapun karangannya yang lain adalah kitab “Ratibul Ahtas dan Ratibul Hadad.” Kedua kitab itu merupakan pelajaran rutin yang diajarkan setiap magrib oleh beliau kepada murid-muridnya dimasa beliau masih hidup, bahkan kepada anak dan cucunya, Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas menganjurkan supaya tetap dibacanya.
Habib Abdullah Bin Al Athas, adalah seorang Waliyullah dengan kiprahnya menyebarkan Agama Islam dari satu negeri kenegeri lain. Di Kampung Empang beliau menikahi seorang wanita keturanan dalem Sholawat. Dari sanalah beliau mendapatkan wakaf tanah yang cukup luas, sampai sekarang 85 bangunan yang terdapat di kampung Empang didalam sertifikatnya atas nama Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas.
Semasa hidupnya sampai menjelang akhir hayatnya beliau selalu membaca Sholawat Nabi yang setiap harinya dilakukan secara dawam di baca sebanyak seribu kali, dengan kitab Sholawat yang dikenal yaitu “ Dala’l Khoirot” artinya kebaikan yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Menurut Manakib, beliau dipanggil Allah SWT pada hari Selasa, 29 Zulhijjah 1351 Hijriah diawal waktu zuhur Jenazah beliau dimakamkan keesokan harinya hari Rabu setelah Sholat zuhur. Tak terhitung jumlah orang yang ikut mesholatkan jenazah. Beliau dimakamkan di bagian Barat Masjid An nur Empang,sebelum wafat beliau terserang sakit flu ringan.
sumber referensi: kitab Manakib Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas
ULAMA BETAWI BELAJAR DENGAN TUAN GURU YANG MULYA
Betawi kerapkali dijadikan bahan kajian dan diskusi yang menarik dari dulu hingga kini, karena diskursus mengenai Betawi mengandung estetika tersendiri. Topiknya pun beraneka warna dan selalu aktual serta faktual bahkan terkadang kontroversial, seperti kajian sosial politik dan kebudayaan Betawi.
Kendati demikian, corak keislaman dan sejarah sosial intelektual Islam di Betawi belum banyak dikaji, karena perhatian baru difokuskan kepada sejarah sosial, politik, keseniaan dan kebudayaan serta kepurbakalaan. Padahal sejarah sosial intelektual Islam di Betawi telah memiliki peran yang signifikan dalam perubahan di masyarakat Betawi. Para pelaku sejarah intelektual Islam di Betawi adalah para ulama Betawi pada abad ke 19 dan 20 yang menimba ilmu di Timur Tengah selama bertahun-tahun.
Setelah mereka menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan Madinah, sebagian besar mereka kembali ke Betawi. Di sinilah mereka menjadi penyebar utama tradisi intelektual keagamaan Islam di Makkah dan Madinah ke Betawi.
Penelitian ini mencoba menelusuri jaringan ulama Betawi yang belajar langsung kepada ulama Timur Tengah pada abad ke-19 dan 20 serta upaya transmisi keagamaan di Betawi. Kajian ini mencoba mengembangkan teori Azyumardi Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya keterkaitan intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah dan Madinah dan upaya reformasi yang dilakukan sekembalinya mereka ke tanah air. Perbedaan hanya terletak pada dimensi ruang dan waktu.
Penelitian ini juga mencoba menelusuri perkembangan Islam di Betawi mulai masa Jayakarta hingga Batavia dan menelusuri corak keberagamaan Islam di Betawi. Terlepas dari perdebatan asal usul komunitas etnis Betawi, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Betawi memiliki ketaatan yang fanatik terhadap ajaran Islam dan perasaan anti Barat yang kuat. Kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 itu dapat disebabkan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi terkemuka yang telah berhasil dalam memberikan pemahaman tentang Islam.
Islam dan Betawi merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan sebutan “Betawi” hanya bisa digunakan oleh penduduk asli Jakarta yang beragama Islam. Sedangkan penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen secara turun temurun biasanya disebut dengan daerah asalnya, seperti penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen yang diduga keturunan Mardijkers di daerah Tugu Jakarta Utara disebut orang Tugu dan penduduk asli beragama Kristen di daerah Depok disebut orang Depok atau Belanda Depok. Penduduk asli Batavia saat itu kerapkali menyebut dirinya dengan Orang Selam yang agaknya merupakan pengucapan setempat untuk Islam. sebagaimana Srani untuk kata “Nasrani”.
Hamka menemukan bukti tentang kuatnya orang Betawi memegang agama Islam. Selama 350 tahun dijajah Belanda tetapi jarang sekali terdengar anak Betawi yang masuk Kristen. Kendati orang Betawi hidup dalam kemiskinan dan kekurangan ilmu pengetahuan tetapi jika masuk Kristen adalah aib sekali. Hal itu menolak teori bahwa kemiskinan mudah menjadi kafir. Segala sesuatu telah diderita oleh orang Betawi kecuali menjadi kafir.
Ridwan Saidi berpendapat bahwa Islam memberi makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era penjajahan Belanda. Zikir, ratib, pembacaan manakib Syaikh Saman, maulid Barjanji serta Diba. Semuanya merupakan ekpresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diri isyhadĆ» bi annĆ¢ muslimĆ»n (saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam). Suatu ekpresi teologis yang nyaris sepi dari politik, kendati demikian penjajah Belanda dibuat tidak berkutik.
Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi’i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Oleh karenanya dapat dipahami bila organisasi Islam modernis dan Organisasi Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan TBC (tahayul, bid’ah dan khurafat). Kecaman tersebut dalam banyak hal tertuju pada budaya dan tradisi Betawi yang dalam beberapa hal bersentuhan dengan tahayul, bid’ah dan khurafat.
Deskripsi tentang kuatnya masyarakat Betawi dalam memegang teguh ajaran Islam dikarenakan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi terkemuka dalam memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ulama-ulama Betawi tersebut memiliki jaringan keilmuan di Timur Tengah karena menimba ilmu di beberapa negara Timur Tengah sehingga mereka melakukan penyebaran keislaman di Nusantara terutama di Betawi.
Azra mengungkapkan bahwa penyebaran keilmuan Islam di Nusantara sampai abad ke-19 bersumber dari ulama yang terlibat jaringan intelektual dengan ulama Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah (Haramain). Penulis berkeinginan untuk mengembangkan teori yang telah dikemukakan oleh Azra tersebut.
Keilmuan Islam yang berlangsung di pusat dunia Islam (Haramain) saat itu memiliki karakteristik yang jelas, yaitu gagasan pembaharuan sebagai rekontruksi sosio-moral masyarakat Muslim. Pembaharuan ini menekankan pada ketaatan terhadap syariat atas tasawuf dari Masyarkat Muslim. Penerimaan ulama Haramain terhadap tasawuf kala itu adalah tasawuf yang telah diperbaharui dan sejalan dengan tuntutan syari’at sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Ghazali.
Penyebaran pembaharuan keilmuan Islam di Betawi abad ke-19 dan 20 merupakan proses penerusan ulama Nusantara yang memiliki hubungan intelektual dengan ulama Makkah abad sebelumnya. Mereka telah menjalin hubungan erat dengan sejumlah tokoh penting di pusat keilmuan Makkah. Keterlibatan ulama Nusantara dalam jaringan ulama Haramain dimulai pada paruh kedua abad ke-17 yang dimulai oleh Nuruddin ar-Raniri (w. 1069 H/1658 M), Abdur Rauf Singkel (1035-1105 H/1615-1693 M) dan Yusuf al-Maqassari (1626-1699). Kemudian disusul oleh ulama abad ke-18 yaitu Abdul Shomad al-Palimbani (1704-1788), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), Dawud bin Abdullah al-Fatani (1718-1847), Muhammad Nafis al-Banjari (1735-1812) dan Abdurrahman al-Mashri al-Batawi.
Pembaharuan keagamaan secara langsung dari Makkah ke Betawi telah terjadi pada abad ke-19 dan 20. Bahkan pada abad ke-18 sudah ada ulama Betawi yang bernama Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi yang menimba ilmu di Makkah. Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah teman karib Abdul Shamad Al-Palimbani dari Sumatera Selatan (1116/1704-1203/1789) dan Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122/1710-1227/1812) dari Kalimantan Selatan. Kendati informasi mengenai Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi ini sangat minim, tetapi peran dan kiprahnya menunjukkan bahwa dia terlibat aktif secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama terpenting di Nusantara pada abad ke 18.
Sebelum kembali ke Betawi, karena merasa belum mendapat pengetahuan yang memadai, Abdurahman Al-Batawi bersama dengan Muhammad Arsyad dan Abdul Shamad meminta idzin kepada gurunya, ‘Atha’ Allah Al-Mashri untuk menambah pengetahuan di Kairo. Kendati menghargai niat baik mereka, ‘Atha’ Allah menyarankan agar mereka lebih baik kembali ke Nusantara sebab mereka sudah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup dan dapat mereka manfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka. Mereka tetap memutuskan pergi ke Kairo tetapi hanya untuk berkunjung bukan untuk belajar. Mungkin sebagai tanda hubungan baik mereka dengan ‘Atha’ Allah dan kunjungan mereka ke Kairo sehingga Abdurahman Al-Batawi menambahkan laqab “Al-Mashri” pada namanya.
Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi bersama Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Al-Bugisi kembali ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum ke Banjarmasin, atas permintaan Al-Batawi, Muhammad Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan. Kendati dia tinggal di Batavia hanya untuk waktu yang relatif singkat tetapi dia mampu melakukan pembaruan penting bagi kaum Muslim di Batavia. Beberapa masjid di Batavia dibetulkan arah kiblatnya. Menurut perhitungannya, kiblat masjid-masjid di Jembatan Lima (Masjid Kampung Sawah/Masjid Al-Mansur) dan Pekojan, tidak diarahkan secara benar menuju Ka’bah dan karenanya harus dirubah. Kontroversipun bermunculan di kalangan para pemimpin muslim di Batavia sehingga gubernur jenderal Belanda memanggil Muhammad Arsyad untuk mengklarifikasi masalah itu. Muhammad Arsyad menjelaskan perhitungan secara matematis sehingga membuat gubernur terkesan dan memberikan hadiah kepadanya. Di kemudian hari, pembetulan arah kiblat itu juga diusulkan Abdurahman Al-Batawi di Palembang ketika dia mengadakan perjalanan ke sana sekitar tahun 1800 yang juga menimbulkan kontroversi di sana.
Ulama-ulama Betawi pada abad ke 19 pasca Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah Syaikh Junaedi Al-Batawi. Menurut C. Snouck Hurgronje, di Makkah pada perempatan ketiga abad ke 19 ada “sesepuh” (nestor) para profesor Jawi yang berasal dari Betawi yang bernama Junaed yang sudah menetap selama 50 tahun. Ketika berkunjung ke Makkah—menurut Hurgronje—ia telah melakukan kajian-kajian mendalam di negeri asalnya tetapi tidak pernah kembali ke negerinya. Jika Junaed sudah tiba di Makkah 50 tahun yang lalu, maka berarti ia sudah tiba di Makkah di awal abad ke 19 M. Junaed memiliki banyak murid di antaranya adalah KH. Mujtaba bin Ahmad atau dikenal dengan Guru Mujtaba. Jika Guru Mujtaba akhirnya kembali ke Betawi pada 1904, Syaikh Junaed Al-Batawi tetap tinggal di sana. Khabarnya Junaed meninggal dunia di tanah suci akhir abad ke 19. Kendati tidak diketahui tanggal yang pasti mengenai wafatnya, Junaed telah mendidik murid-muridnya asal Betawi menjadi ulama-ulama besar. Sayang sekali sampai sekarang tidak diketahui di mana anak dan keturunan Junaed berada sekarang.
Ulama Betawi berikutnya adalah Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya (1822-1914). Ayahnya adalah Sayyid Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syaikh Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi.
Sayyid Usman pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji kemudian belajar di sana selama 7 tahun. Dia belajar kepada ayahnya dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah. Pada tahun 1848 Sayyid Usman berangkat ke Hadramaut dan menimba ilmu kepada Syaikh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri dan Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar. Untuk memperdalam bermacam-macam ilmu, dia belajar juga ke Mesir, Tunis, Al Jazair, Istambul, Persia dan Syiria.
Di antara karya Sayyid Usman yang terpenting adalah Tawdih al-Adillat ‘ala SyurĆ»th Syuhud al-Ahillat. Latar belakang kitab ini adalah karena pada tahun 1882 umat Islam di Jakarta terbagi dua dalam menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian mulai puasa pada hari Senin. Banyak karya-karya Sayyid Usman yang masih dibaca oleh masyarakat Betawi, di antaranya adalah Sifat Dua Puluh. Karena keilmuan Sayyid Usman yang memadai maka diangkatlah dia menjadi mufti Betawi oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Di antara murid Sayyid Usman adalah KH Abdul Muhgni Kuningan atau biasa dipanggil Guru Mugni (1860-1935). Guru Mugni terhitung ulama yang paling terkemuka di wilayah Selatan. Dalam usia 16 tahun, ia dikirim ayahnya menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di sana selama 9 tahun. Di sana Guru Mugni berguru kepada banyak ulama, antara lain Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadrami, Syaikh Sa’id Al-Yamani, Syaikh Ali Al-Maliki, Syaikh Abdul Karim Al-Dagestani, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan Syaikh Muhammad Umar Syatha.
Selama di tanah suci, ia berteman dengan sejumlah orang Betawi yang kelak menjadi ulama Besar, seperti KH. Marzuqi (Guru Marzuqi) yang telah menerima ijazah tarekat Al-Alawiyah dari Muhammad Umar Syatha. Guru Mughni memiliki banyak murid yang telah menjadi ulama besar, di antaranya adalah Guru Abdul Rahman Pondok Pinang, KH. Mughni Lenteng Agung, Guru Naim Cipete, KH Hamim dan KH Raisin Cipete, Guru Ilyas Karet dan Guru Ismail Pedurenan (dipanggil Guru Mael, mertua KH Ahmad Junaidi Menteng Atas).
Ulama Betawi terkemuka lainnya adalah Habib Ali Abdurrahman Al-Habsy (1869-1968). Habib Ali ditinggal wafat ayahnya, Habib Abdurrahman ketika ia berusia 12 tahun. Ayahnya berwasiat kepada istrinya, Nyai Salmah—seorang putri Betawi asli yang berasal dari Mester Pulo (Jatinegara sekarang)—agar Habib Ali dikirim belajar ke Hadramaut dan Makkah. Habib Ali akhirnya diberangkatkan ke Hadramaut ketika umurnya masih 12 tahun. Di Hadramaut Habib Ali berguru kepada Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Habib Abdurahman bin Muhammad Al-Masyhur dan lain sebagainya. Setelah kembali dari Hadramaut dan Makkah, Habib Ali kembali ke Indonesia dan menetap di Jakarta bersama ibunya, Nyai Salmah.
Sejak masih berusia 20-an tahun Habib Ali mendirikan majelis taklim. Sebelum di Kwitang, majelisnya berlangsung di Tanah Abang. Ia kemudian mendirikan Masjid Al-Riyadh di Kwitang dan di dekatnya didirikan Madarasah ‘Unwanul Falah’.
Banyak ulama Betawi yang merupakan murid dari Habib Ali dan dididik di Madrasah ‘Unwanul Falah yang menerapkan sistem pendidikan modern. Di antara muridnya yang sangat tekun mengikuti dan menjadi pembicara di majelisnya adalah adalah KH Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Fathullah Harun (1913-1989) dan KH Tohir Rohili (1920-1999). Habib Ali pun mempersaudarakan mereka bertiga dengan putranya, Habib Muhammad Al-Habsyi. Dari KH. Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili berdiri dan berkembang pesat majelis taklim As-Syafi’iyah dan At-Tahiriyah. Sedangkan KH. Fathullah Harun menjadi ulama Betawi ternama di Malaysia.
Hubungan antara Habib Ali dengan murid-muridnya cukup menarik dan romantis. Pada saat pemilu 1955, Habib Ali kendati tidak memperlihatkan berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah mengemukakan pilihannya pada orang lain tetapi ia lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada (Monas) Jakarta, Habib Ali diminta membaca doa. Ia juga banyak memiliki murid-murid orang-orang NU, termasuk Ketua Umumnya saat itu, KH Idham Khalid yang kerapkali datang ke masjidnya.
Murid-murid Habib Ali yang lain KH. Ahmad Thabrani Paseban (1901-1985), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH. Muhammad Na'im Cipete (1912-1973), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH. Zayadi Muhajir (1918-1994), KH. Muhajirin (1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006), KH. Nahrawi Abdul Salam (1931-1999), KH. Abdurrazaq Makmun, KH. Ismail dan lain sebagainya.
Ulama Betawi dari wilayah Timur yang paling berpengaruh adalah KH Ahmad Marzuqi yang akrab dipanggil Guru Marzuqi (1293-1352 H/1876-1934 M). Ayahnya bernama Ahmad Mirshad adalah keturunan keempat dari Sultan Laksana Melayang, salah seorang Pangeran dari kesultanan Melayu Pattani di Muangthai Selatan. Ketika berusia 16 tahun, Marzuqi berangkat ke Makkah dan menetap di sana selama tujuh tahun. Di Makkah ia menimba ilmu kepada ulama terkemuka seperti Syaikh Ali al-Maliki, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Umar Sumbawa, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan banyak lagi. Guru Marzuqi di Makkah juga mendalami tasawuf dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-Alawiyah dari Syaikh Muhammad Umar Syatha yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan.
Setelah kembali ke Betawi, ia diminta oleh Sayid Usman Banahsan untuk mengajar di masjid Rawabangke (Rawa Bunga) selama lima tahun kemudian pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah Guru Marzuqi merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Di antara para murid-muridnya yang kelak menjadi ulama besar adalah KH Abdul Jalil Tambun, KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Tambih Bekasi (1907-1977), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH Muhtar Thabrani Kaliabang Bekasi (1912-1971), KH. Muhammad Na’im Cipete (1912-1973)), KH Abdullah Syafi’i Kampung Bali Matraman, KH Nur Ali Bekasi (1913-1992) dan KH Aspas Cilincing. Di antara putera Guru Marzuqi yang melajutkan perjuangannya adalah KH Abdul Malik (Guru Malik), KH Muhammad Baqir Rawabangke, KH Abdul Mu’thi Buaran Bekasi dan KH Abdul Ghofur Jatibening Bekasi.
Dari pusat kota Jakarta tepatnya di Kampung Sawah Jembatan Lima muncul ulama Betawi terkemuka yang bernama KH. Muhammad Mansur atau akrab dipanggil Guru Mansur (1878-1967). Ia dan Guru Mughni disebut oleh masyarakat Betawi sebagai “Paku Jakarta” Hal ini membuktikan bahwa keulamaan dan ketokohan mereka tidak diragukan lagi.
Guru Mansur lahir pada tahun 1878 di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta Barat yang dahulu masih termasuk kawasan hunian orang-orang asal Kepulauan Banda. Ayahnya bernama KH Abdul Hamid bin Damiri bin Imam Habib bin Abdul Muhit bin Pangeran Tjakra Jaya (Tumenggung Mataram). Abdul Muhit adalah orang alim yang membangun Masjid Kuno di Kampung Sawah pada tahun 1717 M (sekarang bernama Masjid Al-Mansur). Guru Mansur merupakan keponakan dari Syaikh Junaid Al- Batawi karena KH. Abdul Hamid, ayah Guru Mansur adalah adik kandung Syaikh Junaid Al-Batawi. Guru Mansur pertama kali belajar agama kepada ayahnya dan sesudah ayahnya meninggal, ia belajar dari kakak kandungnya KH Mahbub bin Abdul Hamid dan kakak misannya yang bernama KH Thabrani bin Abdul Mugni. Selain kepada mereka, Guru Mansur juga pernah belajar kepada seorang ulama dari Meester Cornelis (Jatinegara) bernama H. Mujtaba bin Ahmad. Di Makkah ia juga memperdalam ilmunya dengan Tuan Guru Umar Sumbawa yang kelak mengangkatnya sebagai Katib (sekretaris) karena tertarik pada tulisan Guru Mansur yang rapi.
Setelah menimba ilmu di Makkah selama empat tahun, Guru Mansur kembali ke tanah air melalui beberapa negara yang disinggahinya, seperti Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan Singapura. Setelah sampai di tanah air, Guru Mansur membantu ayahnya mengajar di madrasah Kampung Sawah (sekarang Chairiyah Mansuriyah). Mulai tahun 1907, ia mengajar di Jamiatul Khair bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Ahmad Surkati dan KH Ahmad Dahlan.
Rasa nasionalisme Guru Mansur tidak diragukan lagi. Hal ini terbukti ketika Jakarta berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1948, Guru Mansur terpaksa harus berurusan dengan Hoofd Bureau Kepolisian Gambir karena ulahnya yang memasang bendera merah putih di menara Masjid Kampung Sawah. Kendati Guru Mansur berada di bawah ancaman senjata Nica, ia tetap mempertahankan bendera merah putih tetap berkibar di menara mesjid itu. Guru Mansur pun berujar “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”.
Selama hidupnya, Guru Mansur telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, di antaranya Sullamun nairain, KhulĆ¢satul jadawil, Kaifiyatul amal ijtima, khusĆ»f wal kusĆ»f dan lain sebagainnya. Di antara murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama adalah KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Radjiun Kebon Sirih (1916-1982) yang pernah menjadi ketua Masjid Pekojan dan KH Muhammad yang mendalami ilmu Falaq dan kemudian diangkat menantu dan meneruskan usaha mertuanya mengembangkan Madrasah Al-Mansuriyyah (yang masih berdiri hingga kini). Ahli falaq lain didikannya yang cukup berhasil adalah KH Muhajirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), Pimpinan Perguruan Islam An-Nida, Bekasi.
Masih banyak para ulama Betawi yang memiliki jaringan ulama ke Makkah, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti KH. Mahmud Ramli Menteng (1866-1959), KH. Ahmad Kholid Gondangdia (1874-1946), KH. Abdul Madjid Pekojan (1887-1947), KH. Najihun (1897-1984), KH. Muhammad Amin (1901-1965), KH. Ahmad Thabrani (1901-1985), KH. Muhammad Tambih (1907-1977), KH. Ali Alhamidi (1909-1985), KH. Abdul Hadi (1909-1998), KH. Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Muchtar Thabrani (1912-1971), KH. Muhammad Na'im (1912-1973), KH. Nur Ali Bekasi (1913-1992), KH. Hasbiyallah (1913-1982), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH. Fathullah Harun (1913-1989), KH. Mursyidi Klender (1915-2003), KH. Muhammad Radjiun (1916-1982), KH. Zayadi Muhajir Klender (1918-1994), KH. Thohir Rohili Bukit Duri (1920-1999), KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Abdul Hannan Sa’id (1923-2000), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006) dan Dr. KH. Ahmad Nahrawi Abdul Salam Al-Indunisi (1931-1999) yang akan diuraikan biografinya dalam bab tersendiri di buku ini.
Ulama-ulama Betawi yang disebutkan di atas adalah ulama terkemuka dari Betawi yang pernah menetap dan menuntut ilmu di Timur Tengah terutama di Makkah dan Madinah pada abad ke 19 dan 20 atau berguru kepada Ulama Betawi yang pernah menuntut ilmu di Timur Tengah sehingga pantas diperkirakan bahwa ada jaringan ulama Betawi yang meneruskan pembaharuan keagamaan ulama Timur Tengah dengan kitab-kitab karya mereka. Kitab-kitab kuning yang dikarang oleh ulama Betawi atau yang diajarkan oleh ulama Betawi kepada para murid-muridnya mencerminkan bagaimana ulama Betawi berhubungan dengan tradisi ulama Timur Tengah. Muatan muatan kitab kuning tersebut mengkaitkan pada tradisi ortodoks (klasik) universal yaitu aqidah Al-Asy’ari, fiqih As-Syafi’i dan tasawuf Al-Ghazali.
Fenomena ulama Betawi yang belajar di Timur Tengah pada abad ke-19 dan ke-20 membuktikan bahwa teori Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya hubungan ulama Makkah dan Nusantara juga terjadi di Betawi. Sehingga dirasa penting melakukan penelitian untuk menggungkapkan jaringan ulama Betawi yang belajar di Makkah serta bagaimana subtansi pengajaran pembaharuan yang disebarkan pada abad ke-19 dan ke-20.
Resensi diambil dari: http://www.pmii.or.id/produk-a-kreatif/buku/225-ulama-betawi-studi-tentang-jaringan-ulama-betawi-dan-kontribusinya-terhadap-perkembangan-islam-abad-ke-19-dan-20.html
DIDIKLAH ANAK KITA MENGENAI TIGA PERKARA
Didiklah anak anak kita mengenai tiga perkara :
- Mencintai Nabi Muhammad SAW
- Mencintai Ahli Bait Rosululloh
- dan Membaca Alquran
Jumat, 03 Februari 2012
SIAPA BILANG MAULID NABI BID'AH ?
Pendapat Ulama-Ulama Klasik dan Konteporer tentang Maulid
1.Imam Yahya Bin Syorof an-Nawawiy
“Dan yang terbaik diantara sesuatu yang baru di zaman kita ini adalah apa yang dilakukan setiap tahun, yaitu pada hari kelahiran Nabi (Maulid Nabi) yang berisi shodaqoh, menampilkan keindahan dan kebahagiaan. Hal tersebut adalah bentuk rasa cinta dan memulyakan Nabi di dalam hati orang melakukan maulid dan bentuk ugkapan syukur kepada Allah atas anugrah yang beliau berikan yaitu menciptakan Nabi Muhammad untuk menjadi rahmat untuk seluruh alam” (Al-Ba’is ala Inkarilbida’ wal Hawadis. Hal. 3)
2. Al Hafidz Imam as-Suyutiy
“Ada sebuah pertanyaan tentang acara maulid Nabi di bulan Robiul Awal, apakah hukumnya menurut syariat, apakah terpuji atau tercela? Apakah orang yang melakukannya mendapat pahala atau tidak? Jawaban saya adalah … maulid Nabi termasuk bid’ah hasanah yang bagi pelakunya akan mendapat pahala, di karnakan di dalamnya ada rasa mengagungkan Rasul dan memperlihatkan kebahagian karena lahirnya Nabi Muhammad”.(Al Hawi lilfatawa/2. hal. 221)
3. Ibnu Taimiyah
“Dan maulid adalah sesuatu yang baru yang di buat sebagian manusia, munkin untuk menyaingi Nasrani di dalam Milad Nabi Isa as. atau karena rasa cinta dan memulyakan Nabi, sungguh Allah akan memberi pahala atas rasa cinta dan kesungguhan ini”(Iqtidho Shirotil Mustaqim. Hal. 266)
Dan ulama-ulama lain yang menyatakan dianjurkannya maulud atau mengarang kitab tentang maulid Nabi adalah: Ibnu Hajar al Asqolani (lih. Al Hawi Lilfatawa), Al Hafidz al Iroqiy (lih.Al-maulud al-Haniy fi al-Maulid an-Nabawiy), Ibnu Jauziy (lih.Mauludul Urus), Ibnul Haj al-Malikiy( Al-Madkhol), Ibnu Katsir, Imam Sakhowi, Imam Qostholaniy, Imam as-Subkiy, Dr. Yusuf Qordhowiy(Mufti Qatar), Dr. Sa’id Romadhon al-Buthiy, Sayid Muhamad Bin Alawi al Malikiy, Saikh Ahmad Bin Abdul Aziz al-Mubarok(Mufti Emirat Arab),Saikh Isa Bin Abdullah Al Humairiy(ketua majlis Fatwa dan kajian Pemerintahan Dubai), Syaikh Ali Jum’ah(Mufti Mesir) Sayed Ali Mashur(Mufti Hadhromaut) dll.
Kisah Peringanan Azab Abu Lahab pada Hari Senin
Para ulama ilmu hadis, seperti Imam Bukhoriy, al Hafidz Ibnu Hajar, al Hafidz Ibnu Katsir, al-Hafidz al-Baihaqiy, al-Hafidz al-Baghowiy, Imam Son’aniy dan yang lainnya di dalam kitab-kitab hadis dan siroh yang mereka tulis menyebutakan bahwa Sahabat Abas bin Abdil Mutholib bermimpi bertemu Abu Lahab yang telah wafat, dan Sahabt Abas bertanya tentang keadaannya, Abu Lahab menjawab: bahwa dirinya terus disiksa di kubur, tapi untuk hari senin siksanya diringankan disebabkan dia sewaktu hidup pernah memerdekakan budak karena bahagia waktu Nabi saw. lahir.(Untuk mengetahui lebih jelas mengenai bahwa cerita ini dapat menjadi hujah menurut ilmu hadis, lih. Sayed. Dr, Muhammad al-Malikiy, Mafahim Yajibu Antushohah. Hal 252).
Al-Hafidz Syamsyudiin as-Dimsiqiy setelah mendengar cerita ini dia menulis sebuah syair:
Jika Abu Lahab yang kafir ini telah jelas celanya dan merugi dineraka selamanya
Datang setiap senin tuk selamanya ringan adzab sebab senang kelahiran Ahmad
Lalu apa diduga dengan hamba yang hidupnya bahagia sebab ahmad dan mati keadaan bertauhid. (lih. Marud as-Shoodiy fi Mauludi al Hadiy)
Dapat difahami dari cerita dan syair tersebut, bahwa ekpresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammadpun mampu menurunkan rahmat Allah kepada paman Nabi, Abu Lahab yang kafir, lalu bagaimana dengan kita yang muslim yang selalu senang dan bahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad!. Dan jika kita mau merenungi kenapa Nabi tidak membuat perayaan maulid ini sebenarnya juga adalah rahmat bagi kita, karena kita dapat mengekpresikan kebahagiaan maulid Nabi dengan jenis ibadah yang sesui kemampuan kita dan dengan hati suka rela. Hal ini dapat kita ketahui dari cerita sahabat-sahabat Nabi dan kaum Yahudi yang mengekpresikan sikap sukurnya dengan ibadah yang bebeda-beda tanpa bertanya dulu kepada Nabi, tapi semuanaya disetujui oleh Nabi. Dan telah menjadi sifat rahmat Nabi kepada umatnya bahwa beliu sering meniggalkan amal karena khawatir akan dikira amal itu wajib, dan nanti akan memberatkan umatnya, karena banyaknya kewajiban, yang sebenarya amal tersebut boleh dilakukan. Seperti dalam ilmu Ushul Fiqih, Nabi tidak melakukan suatu amal secara rutin(muwadhobah) untuk memberi tahu bahwa amal itu tidak wajib, tapi sunah, dan Nabi meninggalkan amal yang boleh dilakukan(mubah) agar tidak dikira amal itu sunah atau wajib.(M. Sulaiman al-Asqor, Af’alul Rasul. Hal. 54) .Jika memang maulid adalah ekpresi syukur, maka jangan sampai hal ini menjadi sebab perpecahan dengan sesama muslim karena perbedaan pemahaman tentang hukum maulid, agar makna rahmat itu tetap terasa. Mari kita saling bekerja sama dalam hal yang kita sepakati, dan saling memaafkan dalam hal yang kita berbeda pendapat.Wallahu a’lam bi showab.
1.Imam Yahya Bin Syorof an-Nawawiy
“Dan yang terbaik diantara sesuatu yang baru di zaman kita ini adalah apa yang dilakukan setiap tahun, yaitu pada hari kelahiran Nabi (Maulid Nabi) yang berisi shodaqoh, menampilkan keindahan dan kebahagiaan. Hal tersebut adalah bentuk rasa cinta dan memulyakan Nabi di dalam hati orang melakukan maulid dan bentuk ugkapan syukur kepada Allah atas anugrah yang beliau berikan yaitu menciptakan Nabi Muhammad untuk menjadi rahmat untuk seluruh alam” (Al-Ba’is ala Inkarilbida’ wal Hawadis. Hal. 3)
2. Al Hafidz Imam as-Suyutiy
“Ada sebuah pertanyaan tentang acara maulid Nabi di bulan Robiul Awal, apakah hukumnya menurut syariat, apakah terpuji atau tercela? Apakah orang yang melakukannya mendapat pahala atau tidak? Jawaban saya adalah … maulid Nabi termasuk bid’ah hasanah yang bagi pelakunya akan mendapat pahala, di karnakan di dalamnya ada rasa mengagungkan Rasul dan memperlihatkan kebahagian karena lahirnya Nabi Muhammad”.(Al Hawi lilfatawa/2. hal. 221)
3. Ibnu Taimiyah
“Dan maulid adalah sesuatu yang baru yang di buat sebagian manusia, munkin untuk menyaingi Nasrani di dalam Milad Nabi Isa as. atau karena rasa cinta dan memulyakan Nabi, sungguh Allah akan memberi pahala atas rasa cinta dan kesungguhan ini”(Iqtidho Shirotil Mustaqim. Hal. 266)
Dan ulama-ulama lain yang menyatakan dianjurkannya maulud atau mengarang kitab tentang maulid Nabi adalah: Ibnu Hajar al Asqolani (lih. Al Hawi Lilfatawa), Al Hafidz al Iroqiy (lih.Al-maulud al-Haniy fi al-Maulid an-Nabawiy), Ibnu Jauziy (lih.Mauludul Urus), Ibnul Haj al-Malikiy( Al-Madkhol), Ibnu Katsir, Imam Sakhowi, Imam Qostholaniy, Imam as-Subkiy, Dr. Yusuf Qordhowiy(Mufti Qatar), Dr. Sa’id Romadhon al-Buthiy, Sayid Muhamad Bin Alawi al Malikiy, Saikh Ahmad Bin Abdul Aziz al-Mubarok(Mufti Emirat Arab),Saikh Isa Bin Abdullah Al Humairiy(ketua majlis Fatwa dan kajian Pemerintahan Dubai), Syaikh Ali Jum’ah(Mufti Mesir) Sayed Ali Mashur(Mufti Hadhromaut) dll.
Kisah Peringanan Azab Abu Lahab pada Hari Senin
Para ulama ilmu hadis, seperti Imam Bukhoriy, al Hafidz Ibnu Hajar, al Hafidz Ibnu Katsir, al-Hafidz al-Baihaqiy, al-Hafidz al-Baghowiy, Imam Son’aniy dan yang lainnya di dalam kitab-kitab hadis dan siroh yang mereka tulis menyebutakan bahwa Sahabat Abas bin Abdil Mutholib bermimpi bertemu Abu Lahab yang telah wafat, dan Sahabt Abas bertanya tentang keadaannya, Abu Lahab menjawab: bahwa dirinya terus disiksa di kubur, tapi untuk hari senin siksanya diringankan disebabkan dia sewaktu hidup pernah memerdekakan budak karena bahagia waktu Nabi saw. lahir.(Untuk mengetahui lebih jelas mengenai bahwa cerita ini dapat menjadi hujah menurut ilmu hadis, lih. Sayed. Dr, Muhammad al-Malikiy, Mafahim Yajibu Antushohah. Hal 252).
Al-Hafidz Syamsyudiin as-Dimsiqiy setelah mendengar cerita ini dia menulis sebuah syair:
Jika Abu Lahab yang kafir ini telah jelas celanya dan merugi dineraka selamanya
Datang setiap senin tuk selamanya ringan adzab sebab senang kelahiran Ahmad
Lalu apa diduga dengan hamba yang hidupnya bahagia sebab ahmad dan mati keadaan bertauhid. (lih. Marud as-Shoodiy fi Mauludi al Hadiy)
Dapat difahami dari cerita dan syair tersebut, bahwa ekpresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammadpun mampu menurunkan rahmat Allah kepada paman Nabi, Abu Lahab yang kafir, lalu bagaimana dengan kita yang muslim yang selalu senang dan bahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad!. Dan jika kita mau merenungi kenapa Nabi tidak membuat perayaan maulid ini sebenarnya juga adalah rahmat bagi kita, karena kita dapat mengekpresikan kebahagiaan maulid Nabi dengan jenis ibadah yang sesui kemampuan kita dan dengan hati suka rela. Hal ini dapat kita ketahui dari cerita sahabat-sahabat Nabi dan kaum Yahudi yang mengekpresikan sikap sukurnya dengan ibadah yang bebeda-beda tanpa bertanya dulu kepada Nabi, tapi semuanaya disetujui oleh Nabi. Dan telah menjadi sifat rahmat Nabi kepada umatnya bahwa beliu sering meniggalkan amal karena khawatir akan dikira amal itu wajib, dan nanti akan memberatkan umatnya, karena banyaknya kewajiban, yang sebenarya amal tersebut boleh dilakukan. Seperti dalam ilmu Ushul Fiqih, Nabi tidak melakukan suatu amal secara rutin(muwadhobah) untuk memberi tahu bahwa amal itu tidak wajib, tapi sunah, dan Nabi meninggalkan amal yang boleh dilakukan(mubah) agar tidak dikira amal itu sunah atau wajib.(M. Sulaiman al-Asqor, Af’alul Rasul. Hal. 54) .Jika memang maulid adalah ekpresi syukur, maka jangan sampai hal ini menjadi sebab perpecahan dengan sesama muslim karena perbedaan pemahaman tentang hukum maulid, agar makna rahmat itu tetap terasa. Mari kita saling bekerja sama dalam hal yang kita sepakati, dan saling memaafkan dalam hal yang kita berbeda pendapat.Wallahu a’lam bi showab.
Maulid Nabi Muhammad SAW
Salam Shalawat pada Baginda Nabi Muhammad SAW
Maulid Nabi Muhammad SAW kadang-kadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: Ł ŁŁŲÆ Ų§ŁŁŲØŁ, mawlid an-nabÄ«), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.
Sejarah
Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya.Perayaan di Indonesia
Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaanPerbedaan pendapat
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kontroversi peringatan Maulid Nabi
Terdapat beberapa kaum ulama yang berpaham Salafi dan Wahhabi yang tidak merayakannya karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah bid'ah,
yaitu kegiatan yang bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka
berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam
menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatannya. Namun demikian,
terdapat pula ulama yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi
bukanlah hal bid'ah, karena merupakan pengungkapan rasa cinta kepada
Nabi Muhammad SAW.DZIKIR RATTIB AL ATHOS ...
AL HABIB UMAR BIN ABDURRAHMAN AL ATHOS
Kita tentu tidak asing lagi dengan Raatib
Al athos yang selalu di baca baik itu di majlis-majlis ta’lim maupun di
amalkan secara individu. Rotib AL athos adalah susunan dzikir yang
disusun oleh Habib Umar bin Abdurrahman Alathos. Beliau adalah seorang
ulama besar yang lahir di Hadro maut Yaman pada tahun 992 H atau 1572 M
Di kota Isnat. Ayah beliau bernama Al habib Abdurrahman bin aqil dan
Ibunya bernama syarifah Muznah binti Muhammad Al jufri. Karamah kewalian
Habib Umar bin abdurrahman Al athos sudah nampak sejak beliau dalam
kandungan ibunya ,janin tersebut bersin dan tentu ini adalah sesuatu
diluar kebiasaan manusia pada umumnya dan hingga beliau mendapat gelar
“Al athos { orang yang bersin }. Sejak kecil beliau sudah mengalami
kebutaan namun tidak mengurangi semangat beliau dalam menuntut ilmu.
Beliau belajar dari ayahnya dan ulama-ulama setempat lainnya seperti
Syeck Umar bin isa,Syeck abu bakar bin salim dan Habib Husein bin syech
abubakar bin salim.beliu juga membuka taklim dengan mengajarkan ilmu
agama. Dakwahnya pun menyebar ke segenap penjuru Hadramaut.
Belakangan ia dikenal sebagai seorang
sufi yang banyak menguasai ilmu lahir dan batin, pengayom anak yatim
piatu, janda, dan fakir miskin. Siang mengajar, malamnya ia gunakan
untuk melakukan riyadhah, beribadah, bermunajat kepada Allah SWT, dan
sangat jarang tidur.
Sebagai ulama besar dan sufi, Habib Umar dikenal dengan beberapa karamahnya. Ia sangat termasyhur, bahkan sampai ke negari Cina. Suatu hari, salah seorang anak Habib Abdurrahman melawat ke Cina. Di sana ia bertemu seorang sufi yang memberi salam dan hormat, padahal ia tidak mengenalnya.
”Bagaimana engkau mengenalku, padahal kita belum pernah berjumpa?” tanyanya.
”Bagaimana aku tidak mengenal engkau? Ayahmu, Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas, adalah guru kami, dan kami sangat menghormatinya. Habib Umar sering datang ke negeri kami dan ia sangat terkenal di negeri ini,” jawab sufi tersebut. Padahal jarak antara Hadramaut dan Cina sangat jauh, namun Habib Umar telah berdakwah sampai ke sana.
Syekh Muhammad Baqais, salah seorang muridnya, bercerita, ”Satu kali Habib Umar mendamaikan beberapa suku yang berperang sampai berkali-kali. Tapi, tetap saja ia tidak mendapatkan tanggapan baik. Karena itu beliau pun melemparkan biji tasbihnya kepada mereka. Dengan izin Allah biji tasbih itu menjadi ular. Barulah mereka sadar dan mohon maaf.”
Nama Habib Umar tak bisa dipisahkan dari karya agung yang diberinya judul ‘Azizul Manal wa Fathu Babil Wishal, alias “Anugerah nan Agung dan Pembuka Pintu Tujuan” – yang di belakang hari sangat terkenal sebagai Ratib Al-Atthas. Habib Umar sendiri berwasiat, “Rahasia dan hikmah telah kutitipkan di dalam ratib itu.”
Sebagai ulama besar dan sufi, Habib Umar dikenal dengan beberapa karamahnya. Ia sangat termasyhur, bahkan sampai ke negari Cina. Suatu hari, salah seorang anak Habib Abdurrahman melawat ke Cina. Di sana ia bertemu seorang sufi yang memberi salam dan hormat, padahal ia tidak mengenalnya.
”Bagaimana engkau mengenalku, padahal kita belum pernah berjumpa?” tanyanya.
”Bagaimana aku tidak mengenal engkau? Ayahmu, Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas, adalah guru kami, dan kami sangat menghormatinya. Habib Umar sering datang ke negeri kami dan ia sangat terkenal di negeri ini,” jawab sufi tersebut. Padahal jarak antara Hadramaut dan Cina sangat jauh, namun Habib Umar telah berdakwah sampai ke sana.
Syekh Muhammad Baqais, salah seorang muridnya, bercerita, ”Satu kali Habib Umar mendamaikan beberapa suku yang berperang sampai berkali-kali. Tapi, tetap saja ia tidak mendapatkan tanggapan baik. Karena itu beliau pun melemparkan biji tasbihnya kepada mereka. Dengan izin Allah biji tasbih itu menjadi ular. Barulah mereka sadar dan mohon maaf.”
Nama Habib Umar tak bisa dipisahkan dari karya agung yang diberinya judul ‘Azizul Manal wa Fathu Babil Wishal, alias “Anugerah nan Agung dan Pembuka Pintu Tujuan” – yang di belakang hari sangat terkenal sebagai Ratib Al-Atthas. Habib Umar sendiri berwasiat, “Rahasia dan hikmah telah kutitipkan di dalam ratib itu.”
Melindungi Kota
Menurut Habib Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang, Jakarta Pusat), Ratib Al-Aththas lebih tua dibanding Ratib Al-Haddad. Ratib Al-Haddad disusun pada 1071 H/1651 M oleh Habib Abdullah Al-Haddad, atau sekitar 350 tahun lalu, sedang Ratib Al-Atthas disusun jauh sebelumnya. Ada beberapa wirid atau doa yang tidak ada dalam Ratib Al-Atthas tapi terdapat dalam Ratib Al-Haddad, demikian pula sebaliknya. Namun, seperti ratib-ratib yang lain, keduanya tetap mengacu pada doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Ratib Al-Atthas biasa dibaca usai salat Magrib, tapi boleh juga dibaca setiap pagi, siang, atau tengah malam. Bisa dibaca sendiri atau secara berjemaah. Manfaat ratib ini sangat besar. Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan, dengan membaca Ratib Al-Atthas atau Ratib Al-Haddad setiap malam, Allah SWT akan menjaga dan memelihara seluruh penghuni kota tempat tinggal kita, menganugerahkan kesehatan, dan mengucurkan rezeki-Nya kepada segenap penduduk.
Dalam keadaan sangat khusus dan mendesak, ratib tersebut bisa dibaca tujuh hingga 41 kali berturut-turut. Pendapat ini mengacu pada beberapa hadis Rasulullah SAW tentang manfaat istigfar dan doa-doa lainnya. Sebab, dalam ratib-ratib tersebut antara lain terdapat selawat, tahlil, tasbih, tahmid, dan istigfar.
Begitu hebat fadilah atau keutamaan ratib-ratib itu, hingga Habib Husein bin Abdullah bin Muhammad bin Muhsin bin Husein Al-Atthas menyatakan bahwa mereka yang mengamalkan ratib tersebut tidak akan terluka jika pada suatu hari terpatuk ular. “Orang yang biasa mengamalkan ratib-ratib itu tidak akan merasa takut, ia akan selamat dari segala yang ditakuti,” katanya.
Betapa hormat para ulama kepada Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas. Tergambar ketika suatu hari seorang ulama, Syekh Salim bin Ali, mengunjungi Imam Masjidilharam, Habib Muhammad bin Alwi Assegaf, dan menyampaikan salam dari Habib Umar. Seketika itu juga Habib Muhammad pun menundukan kepala sejenak, lalu katanya, ”Layaklah setiap orang menundukkan kepala kepada Habib Umar. Demi Allah, saya mendengar suara gemuruh di langit untuk menghormati beliau. Sementara di bawah langit ini tidak ada orang lebih utama daripada beliau.”
Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas wafat pada 23 Rabiulakhir 1072 H/1652 M, dan jenazahnya dimakamkan di Desa Nafhun dekat Huraidhoh Hadromaut yaman.
Menurut Habib Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang, Jakarta Pusat), Ratib Al-Aththas lebih tua dibanding Ratib Al-Haddad. Ratib Al-Haddad disusun pada 1071 H/1651 M oleh Habib Abdullah Al-Haddad, atau sekitar 350 tahun lalu, sedang Ratib Al-Atthas disusun jauh sebelumnya. Ada beberapa wirid atau doa yang tidak ada dalam Ratib Al-Atthas tapi terdapat dalam Ratib Al-Haddad, demikian pula sebaliknya. Namun, seperti ratib-ratib yang lain, keduanya tetap mengacu pada doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Ratib Al-Atthas biasa dibaca usai salat Magrib, tapi boleh juga dibaca setiap pagi, siang, atau tengah malam. Bisa dibaca sendiri atau secara berjemaah. Manfaat ratib ini sangat besar. Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan, dengan membaca Ratib Al-Atthas atau Ratib Al-Haddad setiap malam, Allah SWT akan menjaga dan memelihara seluruh penghuni kota tempat tinggal kita, menganugerahkan kesehatan, dan mengucurkan rezeki-Nya kepada segenap penduduk.
Dalam keadaan sangat khusus dan mendesak, ratib tersebut bisa dibaca tujuh hingga 41 kali berturut-turut. Pendapat ini mengacu pada beberapa hadis Rasulullah SAW tentang manfaat istigfar dan doa-doa lainnya. Sebab, dalam ratib-ratib tersebut antara lain terdapat selawat, tahlil, tasbih, tahmid, dan istigfar.
Begitu hebat fadilah atau keutamaan ratib-ratib itu, hingga Habib Husein bin Abdullah bin Muhammad bin Muhsin bin Husein Al-Atthas menyatakan bahwa mereka yang mengamalkan ratib tersebut tidak akan terluka jika pada suatu hari terpatuk ular. “Orang yang biasa mengamalkan ratib-ratib itu tidak akan merasa takut, ia akan selamat dari segala yang ditakuti,” katanya.
Betapa hormat para ulama kepada Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas. Tergambar ketika suatu hari seorang ulama, Syekh Salim bin Ali, mengunjungi Imam Masjidilharam, Habib Muhammad bin Alwi Assegaf, dan menyampaikan salam dari Habib Umar. Seketika itu juga Habib Muhammad pun menundukan kepala sejenak, lalu katanya, ”Layaklah setiap orang menundukkan kepala kepada Habib Umar. Demi Allah, saya mendengar suara gemuruh di langit untuk menghormati beliau. Sementara di bawah langit ini tidak ada orang lebih utama daripada beliau.”
Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas wafat pada 23 Rabiulakhir 1072 H/1652 M, dan jenazahnya dimakamkan di Desa Nafhun dekat Huraidhoh Hadromaut yaman.
HABIB AHMAD BIN ABDULLOH AL ATHOS (PENDIRI MAJLIS DZIKIR ASMAUL HUSNAH )
Majlis dzikir Asmaul husna yang telah dirintis oleh Habib Ahmad bin
Abdulloh al athos telah berkembang dan mempunyai cabang hingga 1700 yang
tersebar diplosok Nusantara.
Putra seorang ulama min awliyaillah bernama Habib Abdulloh bin Hasan Al Athos , lahir di Ambon tanggal 16 desember 1916.
Sejak kecil habib Ahmad bin Abdulloh al athos mendapat didikan langsung dari ayahandanya yang seorang ulama besar dan Wali qutub di Hadro maut.
Habib Ahmad tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, beliau tekun menimba ilmu dari ayahandanya maka tak heran menginjak usia remaja Habib Ahmad telah hapal Alquran, Kitab Matan zubad dan kitab ihya ulumuddin karya imam al ghazali.
Darah ulama yang mengalir dalam dirinya menjadikan Habib Ahmad sosok remaja yang tekun menimba ilmu dan berdakwah keberbagai daerah bahkan sampai ke mancanegara. Itu semua beliau lakukan untuk menteladani para ulama ulama salafus soleh yang kerap kali berkelana baik untuk menimba ilmu maupun berdakwah.
Setelah beberapa tahun melakukan pengembaraan kebeberapa negara. Habib Ahmad kembali ke Ambon untuk menemui orang tuanya, dan ternyata ayahnya telah Hijrah ke Jakarta.
Tahun 1955 Ayahnya meninggal dunia dan hal ini membuat Habib Ahmad sedih karena Ayahnya yang menjadi tempat beliau bertanya dan curhat telah di panggil sang Kholik.
Habib Ahmad mulai gencar melakukan Dakwah mengajak umat untuk mengingat Alloh dan mengagungkan Asma Alloh, perjuangannnya pun tak sia sia berkat kesantunan dan kesabarannya dakwahnya mulai menunaikan hasil.
Banyak sekali para jamaah yang tertarik dengan metode dakwanya dengan Dzikir asmaul husnah . Lambat laun syiar dakwah islam yang di bawa oleh Habib Ahmad mulai berkembang luas di masyarakat.
Dan banyak para jamaah yang meminta izin dan restu dari Habib Ahmad untuk membuka cabang di tempat tinggalnya dan tentu saja Habib Ahmad memberi restu kepada para Jamaah yang membuka Majlis Asmaul husnah di tempatnya masing masing.
Walaupunmurid muridnya telah membuka cabang Majlis asmaul husnah di daerahnya masing masing namun Habib Ahmad tetap memantapkan Majlis dzikirnya di kediamannya di daerah Bendungan Hilir ( benhil Tanah abang ).
Majlis asmaul husna yang diselenggarakan setiap tanggal 25 setiap bulan yang dimulai ba’da magrib akan terlihat suasana yang syhadu ketika lantunan Asma Alloh mulai di baca oleh para Jamaah semua duduk sejajar tidak ada yang membedakan baik itu orang pintar maupun orang bodoh , baik para ulama maupun orang awam semua tak bergeming dari tempat duduknya seraya mengagungkan Asma asma Alloh , mengingat dosa dosa yang telah kita perbuat terkadang tak terasa air mata akan mengalir mengingat kebesaran Alloh dan air mata itu lah yang menjadi pertanda Rahmat Alloh telah di berikan kepadanya.
Maka pesan serta amanat terakhir yang di sampaikan Habib Ahmad bin Abdulloh al athos adalah untuk tetap menjaga dan melestarikan majlis Asmaul husna ini sampai kapanpun.
Karena dengan Dzikir dan mengingat Alloh dapat meredam murka Alloh dan dan mengungdang rahmat .
Habib Ahmad juga rutin menghatamkan Alquran setiap hari disamping beliau seorang Hafidz beliau selalu memberikan Alquran setiap kali menghatamkannya, maka tak heran beliau membeli Alquran begitu banyak setiap bulan.
Tahun 1994 Habib Ahmad dipanggil Alloh swt dan di makamkan di komplek pemakaman Al hawi condet dengan meninggal mutiara yang sangat berharga Majlis dzkir Asmaul Husnah yang dapat mengundang Rahmat Alloh.
Ya alloh berikan hidayah mu agar hamba – hamba MU dapat menghadirinya dan menteladani yang mendirikannya.
Putra seorang ulama min awliyaillah bernama Habib Abdulloh bin Hasan Al Athos , lahir di Ambon tanggal 16 desember 1916.
Sejak kecil habib Ahmad bin Abdulloh al athos mendapat didikan langsung dari ayahandanya yang seorang ulama besar dan Wali qutub di Hadro maut.
Habib Ahmad tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, beliau tekun menimba ilmu dari ayahandanya maka tak heran menginjak usia remaja Habib Ahmad telah hapal Alquran, Kitab Matan zubad dan kitab ihya ulumuddin karya imam al ghazali.
Darah ulama yang mengalir dalam dirinya menjadikan Habib Ahmad sosok remaja yang tekun menimba ilmu dan berdakwah keberbagai daerah bahkan sampai ke mancanegara. Itu semua beliau lakukan untuk menteladani para ulama ulama salafus soleh yang kerap kali berkelana baik untuk menimba ilmu maupun berdakwah.
Setelah beberapa tahun melakukan pengembaraan kebeberapa negara. Habib Ahmad kembali ke Ambon untuk menemui orang tuanya, dan ternyata ayahnya telah Hijrah ke Jakarta.
Tahun 1955 Ayahnya meninggal dunia dan hal ini membuat Habib Ahmad sedih karena Ayahnya yang menjadi tempat beliau bertanya dan curhat telah di panggil sang Kholik.
Habib Ahmad mulai gencar melakukan Dakwah mengajak umat untuk mengingat Alloh dan mengagungkan Asma Alloh, perjuangannnya pun tak sia sia berkat kesantunan dan kesabarannya dakwahnya mulai menunaikan hasil.
Banyak sekali para jamaah yang tertarik dengan metode dakwanya dengan Dzikir asmaul husnah . Lambat laun syiar dakwah islam yang di bawa oleh Habib Ahmad mulai berkembang luas di masyarakat.
Dan banyak para jamaah yang meminta izin dan restu dari Habib Ahmad untuk membuka cabang di tempat tinggalnya dan tentu saja Habib Ahmad memberi restu kepada para Jamaah yang membuka Majlis Asmaul husnah di tempatnya masing masing.
Walaupunmurid muridnya telah membuka cabang Majlis asmaul husnah di daerahnya masing masing namun Habib Ahmad tetap memantapkan Majlis dzikirnya di kediamannya di daerah Bendungan Hilir ( benhil Tanah abang ).
Majlis asmaul husna yang diselenggarakan setiap tanggal 25 setiap bulan yang dimulai ba’da magrib akan terlihat suasana yang syhadu ketika lantunan Asma Alloh mulai di baca oleh para Jamaah semua duduk sejajar tidak ada yang membedakan baik itu orang pintar maupun orang bodoh , baik para ulama maupun orang awam semua tak bergeming dari tempat duduknya seraya mengagungkan Asma asma Alloh , mengingat dosa dosa yang telah kita perbuat terkadang tak terasa air mata akan mengalir mengingat kebesaran Alloh dan air mata itu lah yang menjadi pertanda Rahmat Alloh telah di berikan kepadanya.
Maka pesan serta amanat terakhir yang di sampaikan Habib Ahmad bin Abdulloh al athos adalah untuk tetap menjaga dan melestarikan majlis Asmaul husna ini sampai kapanpun.
Karena dengan Dzikir dan mengingat Alloh dapat meredam murka Alloh dan dan mengungdang rahmat .
Habib Ahmad juga rutin menghatamkan Alquran setiap hari disamping beliau seorang Hafidz beliau selalu memberikan Alquran setiap kali menghatamkannya, maka tak heran beliau membeli Alquran begitu banyak setiap bulan.
Tahun 1994 Habib Ahmad dipanggil Alloh swt dan di makamkan di komplek pemakaman Al hawi condet dengan meninggal mutiara yang sangat berharga Majlis dzkir Asmaul Husnah yang dapat mengundang Rahmat Alloh.
Ya alloh berikan hidayah mu agar hamba – hamba MU dapat menghadirinya dan menteladani yang mendirikannya.
MENGENANG SANG WALI QUTUB (ABUYA DIMYATI)
Alangkah
ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang
bulang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin.
Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran
Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang,
Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja,
selalu menjauhi keduniawian. Wirangi (hati-hati dalam bicara, konsisten
dalam perkataan dan perbuatan). Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya,
ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih
sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji (mengajar
ilmu), salat serta menjalankan kesunatan lainnya.
Beliau lahir sekitar tahun 1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.
Abuya Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.
Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum naran.
Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi
Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun.
AHLI BAIT ROSUL
Al Habib Salim bin Abdullah Assyatiri, Tarim-Hadramaut, Bersama Al MAghfurlah Abuya Assayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al Hasani, Makkah.
TOKOH LIRBOYO
ALFATIHAH UNTUK AULIYA TUAN GURU PENDIRI PESANTREN LIRBOYO. YANG ALIM, ISTIQOMAH, TAWADHU.. KH.ABDUL KARIM, KH. MARZUKI DAHLAN, KH. MAHRUS ALI.. KITA AKAN DIKUMPULKAN BERSAMA SAMA ORANG YANG KITA CINTAI...
SALAM TA'ARUF
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah puji syukur kepada Allahu Taala .... atas nikmatnya yang amat luar biasa.. alhamdulillah... salam shalawat pada baginda Muhammad SAW... berserta keluarganya... para sahabatnya... para penerus kalimat Tauhid. dengan menngucapkan ...Bismillahirrohmaanirrohiim... saya buka blog saya karna Allahu taala .....sebagai sarana perjuangan umat Islam.... Doa dan alfatihah untuk para habaib ..guru.. kiai... trimakasih atas ilmu yg guru berikan.. smoga berkah dunia akhirat...
Alfakir Ahmad siroj
Alhamdulillah puji syukur kepada Allahu Taala .... atas nikmatnya yang amat luar biasa.. alhamdulillah... salam shalawat pada baginda Muhammad SAW... berserta keluarganya... para sahabatnya... para penerus kalimat Tauhid. dengan menngucapkan ...Bismillahirrohmaanirrohiim... saya buka blog saya karna Allahu taala .....sebagai sarana perjuangan umat Islam.... Doa dan alfatihah untuk para habaib ..guru.. kiai... trimakasih atas ilmu yg guru berikan.. smoga berkah dunia akhirat...
Alfakir Ahmad siroj
MAULID NABI MUHAMMAD TELAH TIBA
SAMBUTLAH DENGAN SENANG WAHAI NUR MUHAMMAD SAW... BAGINDA TELAH WAFAT TAPI NUR MU HIDUP SELALU DIHATIKU.....
Langganan:
Postingan (Atom)
Come and join ” MAJELIS ASMAUL HUSNA AND RATTIB AL-ATTHOS ” BY HABIB UMAR BIN AHMAD BIN ABDULLOH AL-ATTHAS (BENHIL) IN PESANTREN HIDAYATUL MUBTADI’IN PASIR PUTIH SAWANGAN DEPOK, KH. MUHAMMAD JUNAEDI., HMS (KH. JUNET). MAKE YOUR LIFE BETTER TO LIVE THERE... DATENG YA... SETIAP TGL 22 SEBULAN SEKALI..BANYAK HABAIB KUMPUL DISANA....