Pendapat Ulama-Ulama Klasik dan Konteporer tentang Maulid
1.Imam Yahya Bin Syorof an-Nawawiy
“Dan yang terbaik diantara sesuatu yang baru di zaman kita ini adalah
apa yang dilakukan setiap tahun, yaitu pada hari kelahiran Nabi (Maulid
Nabi) yang berisi shodaqoh, menampilkan keindahan dan kebahagiaan. Hal
tersebut adalah bentuk rasa cinta dan memulyakan Nabi di dalam hati
orang melakukan maulid dan bentuk ugkapan syukur kepada Allah atas
anugrah yang beliau berikan yaitu menciptakan Nabi Muhammad untuk
menjadi rahmat untuk seluruh alam” (Al-Ba’is ala Inkarilbida’ wal
Hawadis. Hal. 3)
2. Al Hafidz Imam as-Suyutiy
“Ada sebuah pertanyaan tentang acara maulid Nabi di bulan Robiul Awal,
apakah hukumnya menurut syariat, apakah terpuji atau tercela? Apakah
orang yang melakukannya mendapat pahala atau tidak? Jawaban saya adalah …
maulid Nabi termasuk bid’ah hasanah yang bagi pelakunya akan mendapat
pahala, di karnakan di dalamnya ada rasa mengagungkan Rasul dan
memperlihatkan kebahagian karena lahirnya Nabi Muhammad”.(Al Hawi
lilfatawa/2. hal. 221)
3. Ibnu Taimiyah
“Dan maulid adalah sesuatu yang baru yang di buat sebagian manusia,
munkin untuk menyaingi Nasrani di dalam Milad Nabi Isa as. atau karena
rasa cinta dan memulyakan Nabi, sungguh Allah akan memberi pahala atas
rasa cinta dan kesungguhan ini”(Iqtidho Shirotil Mustaqim. Hal. 266)
Dan ulama-ulama lain yang menyatakan dianjurkannya maulud atau mengarang
kitab tentang maulid Nabi adalah: Ibnu Hajar al Asqolani (lih. Al Hawi
Lilfatawa), Al Hafidz al Iroqiy (lih.Al-maulud al-Haniy fi al-Maulid
an-Nabawiy), Ibnu Jauziy (lih.Mauludul Urus), Ibnul Haj al-Malikiy(
Al-Madkhol), Ibnu Katsir, Imam Sakhowi, Imam Qostholaniy, Imam
as-Subkiy, Dr. Yusuf Qordhowiy(Mufti Qatar), Dr. Sa’id Romadhon
al-Buthiy, Sayid Muhamad Bin Alawi al Malikiy, Saikh Ahmad Bin Abdul
Aziz al-Mubarok(Mufti Emirat Arab),Saikh Isa Bin Abdullah Al
Humairiy(ketua majlis Fatwa dan kajian Pemerintahan Dubai), Syaikh Ali
Jum’ah(Mufti Mesir) Sayed Ali Mashur(Mufti Hadhromaut) dll.
Kisah Peringanan Azab Abu Lahab pada Hari Senin
Para ulama ilmu hadis, seperti Imam Bukhoriy, al Hafidz Ibnu Hajar, al
Hafidz Ibnu Katsir, al-Hafidz al-Baihaqiy, al-Hafidz al-Baghowiy, Imam
Son’aniy dan yang lainnya di dalam kitab-kitab hadis dan siroh yang
mereka tulis menyebutakan bahwa Sahabat Abas bin Abdil Mutholib bermimpi
bertemu Abu Lahab yang telah wafat, dan Sahabt Abas bertanya tentang
keadaannya, Abu Lahab menjawab: bahwa dirinya terus disiksa di kubur,
tapi untuk hari senin siksanya diringankan disebabkan dia sewaktu hidup
pernah memerdekakan budak karena bahagia waktu Nabi saw. lahir.(Untuk
mengetahui lebih jelas mengenai bahwa cerita ini dapat menjadi hujah
menurut ilmu hadis, lih. Sayed. Dr, Muhammad al-Malikiy, Mafahim Yajibu
Antushohah. Hal 252).
Al-Hafidz Syamsyudiin as-Dimsiqiy setelah mendengar cerita ini dia menulis sebuah syair:
Jika Abu Lahab yang kafir ini telah jelas celanya dan merugi dineraka selamanya
Datang setiap senin tuk selamanya ringan adzab sebab senang kelahiran Ahmad
Lalu apa diduga dengan hamba yang hidupnya bahagia sebab ahmad dan mati
keadaan bertauhid. (lih. Marud as-Shoodiy fi Mauludi al Hadiy)
Dapat difahami dari cerita dan syair tersebut, bahwa ekpresi kebahagiaan
atas lahirnya Nabi Muhammadpun mampu menurunkan rahmat Allah kepada
paman Nabi, Abu Lahab yang kafir, lalu bagaimana dengan kita yang muslim
yang selalu senang dan bahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad!. Dan
jika kita mau merenungi kenapa Nabi tidak membuat perayaan maulid ini
sebenarnya juga adalah rahmat bagi kita, karena kita dapat
mengekpresikan kebahagiaan maulid Nabi dengan jenis ibadah yang sesui
kemampuan kita dan dengan hati suka rela. Hal ini dapat kita ketahui
dari cerita sahabat-sahabat Nabi dan kaum Yahudi yang mengekpresikan
sikap sukurnya dengan ibadah yang bebeda-beda tanpa bertanya dulu kepada
Nabi, tapi semuanaya disetujui oleh Nabi. Dan telah menjadi sifat
rahmat Nabi kepada umatnya bahwa beliu sering meniggalkan amal karena
khawatir akan dikira amal itu wajib, dan nanti akan memberatkan umatnya,
karena banyaknya kewajiban, yang sebenarya amal tersebut boleh
dilakukan. Seperti dalam ilmu Ushul Fiqih, Nabi tidak melakukan suatu
amal secara rutin(muwadhobah) untuk memberi tahu bahwa amal itu tidak
wajib, tapi sunah, dan Nabi meninggalkan amal yang boleh
dilakukan(mubah) agar tidak dikira amal itu sunah atau wajib.(M.
Sulaiman al-Asqor, Af’alul Rasul. Hal. 54) .Jika memang maulid adalah
ekpresi syukur, maka jangan sampai hal ini menjadi sebab perpecahan
dengan sesama muslim karena perbedaan pemahaman tentang hukum maulid,
agar makna rahmat itu tetap terasa. Mari kita saling bekerja sama dalam
hal yang kita sepakati, dan saling memaafkan dalam hal yang kita berbeda
pendapat.Wallahu a’lam bi showab.
agree
BalasHapus